Legislator nilai putusan MK soal batasan usia cakada ancam demokrasi
Mahkamah Agung (MK) membuat keputusan yang membuat masyarakat Indonesia kembali terhenyak terkait batasan usia calon kepala daerah.
Elshinta.com - Mahkamah Agung (MK) membuat keputusan yang membuat masyarakat Indonesia kembali terhenyak terkait batasan usia calon kepala daerah. Setelah sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuat putusan batas usia Calon Presiden dan Wakil Presiden. Masyarakat seolah terus disuguhi berbagai putusan yang mengancam demokrasi.
"Wajah rusaknya demokrasi, hukum dijadikan alat pemenangan, perlu disikapi bijak. Putusan Mahkamah Agung berkaitan gugatan batasan usia calon kepala daerah, putusan MA tidak sesuai dengan norma dan etika. Mirip seperti putusan 90 MK, ancam demokrasi dan kedaulatan rakyat. Penggunaan hukum sebagai alat pemenangan ini punya daya rusak hebat dalam demokrasi yang dikembangkan paska reformasi 1998," kata Ketua Komisi A DPRD DIY Eko Suwanto, kepada wartawan di Yogyakarta, Rabu (5/6/2024).
Rusaknya demokrasi terjadi manakala hukum dijadikan alat pemenangan dalam berpolitik. Kewenangan MA dalam proses berdemokrasi sejati bukan membuat norma baru, sebab kewenangan itu milik pemerintah dan DPR.
"MA lebih bijak serahkan kewenangan kepada pemerintah dan DPR, putusan MA tentang batasan usia ini justru membuat ketidakpastian hukum. Sama dengan putusan 90 MK, orang yang buat keputusan dinyatakan bersalah langgar etik berat dan telah dicopor dari Ketua MK. Tapi putusan yg salah ini tidak dibatalkan juga atas nama hukum. Lalu hukum mana yang adil. Hukun substansi yang berkeadilan vs hukum prosedural," imbuhnya.
Berkaitan dengan penetapan hasil pemilihan umum kepala daerah November 2024, sebenarnya masih ada beberapa kemungkinan paska coblosan.
Pertama, setelah coblosan tidak ada gugatan, maka bisa langsung proses penetapan, kedua gugatan ke MK butuh waktu sebelum hasil pemilihan umum ditetapkan.
Ketiga, saat proses ditetapkan MK, pemungutan suara ulang dibuktikan kecurangan, evaluasi diberikan opsi PSU atau pemilihan suara ulang
"Putusan MA mencederai demokrasi yang belum sembuh sakitnya paska pemilihan umum Pilpres, yang mana terjadu pelanggaran etik berat baik MK maupun KPUnya Komisi Yudisial harus bekerja periksa ini, harapan kita tidak boleh ada perubahan peraturan ketika pertandingan berlangsung kecuali bencana alam," ujarnya.
Aktifnya pengawasan dan tekanan masyarakat perlu didorong dan diajak untuk awasi Pilkada pada 27 November 2024 agar proses pemilihan berlangsung dengan jujur dan adil, bermartabat dan berbudaya.
"Mari ke depan, wujudkan pilkada jadi momentum jadikan demokrasi. Jangan jadikan hukum sebagai alat politik, jangan jadikan hukum untuk intimidasi kebebasan berdemokrasi," pungkas politisi PDIP kota Yogyakarta tersebut seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Izan Raharjo, Jumat (7/6).